Thursday, May 30, 2013

The Great Gatsby (2013)


Trailers:
Sempat lihat sebelum pemutaran Iron Man 3, dan tidak pernah sengaja mencari di internet karena tidak pernah kepingin menonton filmnya. Seglamor apapun tampilan trailernya, tetap tidak mampu membuatku tertarik untuk menonton filmnya. Aku sudah pernah membaca bukunya, tapi menurut pendapat pribadiku ceritanya biasa saja, tidak menggetarkan jiwa atau membuat mata berkaca-kaca (yaa... kemungkinan besar sih itu gara-gara terjemahannya nggak banget. Apalagi, aku bukan penggemar Mas Leo. Lengkap sudah. Um... tapi dengan adanya penampakan Mas Tobey, mungkin aku akan membeli DVD-nya saja kapan-kapan.


Experience:
Hari Sabtu, tanggal 18 Mei, tepat setelah keluar dari WC cineplex gara-gara kebelet pipis di penghujung penayangan Star Trek Into Darkness di Studio 1 (perlu dibahas ya?), aku melirik jam tangan. Masih jam setengah tiga. Alternatif pilihan tidak banyak. Belanja stok anak kos di supermarket, atau langsung pulang melanjutkan aktivitas baca buku. Tapi kok malas ya... Melirik dua poster film di sebelah Star Trek, yang ada cuma Snitch-nya The Rock di Studio 2 dan The Great Gatsby (selanjutnya kita sebut TGG) di Studio 3. Jam tayang TGG berikutnya masih satu jam lagi. Ya sudahlah, langsung ke konter tiket dan beli. Dan ternyataaaa! Jrengjengjeng!!! Aku adalah penonton nomor 3!!!

Ih, sedih bener deh... segitu nggak ada peminatnya ya? Tapi untunglah sewaktu film mulai diputar, jumlah penontonnya sudah bertambah, meskipun tidak sampai dua puluh orang. Mungkin para moviegoers lebih suka nonton film aksi di studio sebelah.

Dan pengalamanku menonton film ini... bagaimana ya? Perasaanku nggak jelas banget. Bukannya tidak suka, tapi suka juga nggak. Biasa saja. Selain klise dan predictable (salah sendiri sudah baca bukunya?), aku tidak peduli pada nasib para karakternya. Sedih? Marah? Kasihan? Nggak. Sepanjang film aku sadar banget bahwa INI CUMA FILM. Padahal TGG kan film drama, seharusnya lebih membuatku emosi jiwa ketimbang film Star Trek! Duh.

Buatku, film terbaru Baz Luhrmann ini belum dapat melampaui The Curious Case of Benjamin Button (2008), meskipun sama-sama diangkat dari karya F. Scott Fitzgerald. Dan perlu ditegaskan, itu bukan karena faktor Brad Pitt-nya. Sekali lagi, bukan karena faktor Brad Pitt-nya. #Siapajugayangnuduh

Review:
Kisah di film ini dilihat dari sudut pandang Nick Carraway (Tobey Maguire) yang baru saja saba New York. Ia tinggal di pondok kecil di daerah West Egg, bertetangga dengan Jay Gatsby (Leonerdo DiCaprio), pria misterius yang rutin menyelenggarakan pesta besar-besaran di mansion mewahnya. Meskipun Nick hidup sederhana (iya deh, miskin), ia bersepupu dengan Daisy (Carey Mulligan) yang menikah dengan Tom Buchanan (Joel Edgerton), yang berasal dari kalangan Orang Kaya Lama di New York. Di rumah Daisy, Daisy memperkenalkan Nick dengan sahabatnya Jordan Baker (Elizabeth Debicki), dengan maksud mencomblangkan mereka.

Nick kemudian mengetahui bahwa Tom memiliki wanita simpanan, Myrtle, yang rupanya istri seorang pemilik bengkel di kawasan kumuh New York. Ia juga tahu bahwa Daisy tidak bahagia karena tahu suaminya berselingkuh. Apakah itu menjadi salah satu faktor yang membuat Nick membuka jalan bagi perselingkuhan antara Daisy dengan si tetangga Gatsby, yang ternyata mantan kekasih Daisy di masa lalunya?

Adegan-adegan yang cukup berkesan buatku adalah saat Gatsby mulai melakukan pendekatan pada Nick dalam usahanya untuk bertemu kembali dengan Daisy, termasuk mengajak Nick makan siang bersama teman misteriusnya Meyer Wolfsheim (Amitabh Bachchan!). Dan tentu saja adegan Gatsby yang kikuk bin gugup saat Nick sudah memberikan kesempatan untuk berduaan dengan Daisy! Ah, jadi ingat film-film remaja Indonesia jadul.

Rentetan kejadian berikutnya sudah tentu dapat diprediksi. Apakah si suami tukang selingkuh rela kalau istrinya digondol orang? Apakah si istri yang ikutan selingkuh juga akhirnya mau memilih antara mantan kekasih dan suaminya? Apakah keyakinan Gatsby bahwa selama ini Daisy juga hanya mencintainya benar atau hanya delusi?

Selama ini, aku kurang sreg kalau membaca buku atau menonton film dengan tema perselingkuhan, meskipun itu atas nama cinta, atau meskipun pasangannya yang dikhianati memang brengsek. Dan kalau ceritanya berakhir dengan tragedi, rasanya flat dan tawar saja, kalau tidak dikomentari "wajar saja" atau lebih sadis lagi "rasain". Rasa empatiku untuk tokoh-tokohnya, si protagonis sekalipun, seringkali lenyap entah ke mana. Kemungkinan besar itu faktor utama yang membuatku turn off terhadap TGG ini.

Akhir kata, sampai akhir film ada misteri yang belum terjawab membuatku masih bertanya-tanya: Apakah Nick gay?

Kesimpulan :
Ditonton satu kali pun sudah cukup.

Sunday, May 19, 2013

Star Trek Into Darkness (2013)


Trailers:
Jujur saja, untuk film ini aku sama sekali tidak termotivasi menonton trailer-trailernya atau membaca previewnya. Jadi, benar-benar blank dan tidak punya ekspektasi apa-apa selain minimal sama menariknya dengan film pertama versi Abramsverse.

Jadi, untuk bagian ini, kita bahas trailer yang mendahului pemutaran film ini di bioskop saja. Yang teringat olehku dan mungkin akan kutonton di bioskop juga adalah film Sang Kiai, Despicable Me 2, After Earth, dan Epic. Khusus film terakhir, saat belum tahu judulnya tapi melihat potongan-potongan adegan perang di trailernya, aku sempat tercetus, "Wow, epic banget!" sebelum akhirnya tahu kalau itu memang judul filmnya.

Experience :
Hari Sabtu, tanggal 18 Mei 2013 akhirnya aku melangkahkan kaki ke bioskop untuk menonton film ini (literally, karena kostanku tidak jauh dari Plaza Semanggi). Sebenarnya film ini sudah tayang sejak tanggal 15 Mei, atau tanggal 11 Mei malah, kalau memang mau nekat nonton midnite. Sayangnya, aku bukan Trekkie sejati yang merasa wajib nonton film ini lebih dulu dari siapapun. Bahkan ketika rencana nonton bareng pulang kantor pada hari Jumatnya batal gegara hujan lebat pun sama sekali tidak ada rasa kecewa. Aku yakin seyakin-yakinnya bisa dapat tiket film ini kapan saja dengan mudah. Dan memang benar adanya. Mungkin karena jarang orang memilih nonton yang matinee di hari Sabtu, kecuali untuk film yang sekelas Iron Man 3 barangkali.

Bicara tentang experience, ternyata aku puas menonton film ini, karena berhasil mengocok emosi di beberapa adegan yang membuatku terpaksa harus melepas kacamata dan menyusut air mata...

What?!! Memangnya film drama? Katanya film sci-fi action?

Review :
Apa yang terpikir olehmu ketika tokoh antagonis yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch tiba-tiba berkata, "My name is Khan"?

Well, buat Trekkie sejati pasti langsung berseru "Ooh" atau "Aah", lantas mengaitkannya dengan tokoh Khan Noonian Singh yang muncul di serial TV Star Trek orisinal dan film keduanya, The Wrath of Khan.

Tapi buat casual movigoer yang juga menonton film-film India, khususnya yang dibintangi megastar SRK, bisa jadi malah film ini yang terpikir:
Entah penulis skenarionya atau Cumberbatch sendiri tahu film SRK satu itu atau tidak, tapi yang jelas sebagian penonton Indonesia mungkin malah tertawa atau tersenyum geli mendengar dialog yang satu itu, padahal itu adegan lagi serius-seriusnya :)

Terlepas dari intermezzo di atas, film Star Trek Into Darkness membuatku puas. Bukan jalan cerita atau adegan actionnya yang bikin puas tentunya, karena boleh dibilang plotnya standar dan biasa saja, kalau bukan dibilang fotokopi modifikasi dari film lawas Star Trek (namanya juga alternate universe) yang melibatkan tokoh manusia super bernama Khan. Iyaa, kadang sebuah film kubilang bagus kalau bisa mengaduk emosiku dan membuat mataku berkaca-kaca, dan di sini yang menyelamatkan film ini adalah dinamika antara James T. Kirk (Chris Pine) dan Spock (Zachary Quinto).

Seperti di film pertamanya, hubungan antara dua tokoh yang amat berlawanan ini dieksplorasi dari awal sampai akhir. Bagaimana Kirk yang mengandalkan insting dan bertemperamen panas bersinergi dengan Spock yang mengandalkan rasio dan bertemperamen dingin. Dari adegan pembuka saja diperlihatkan jelas kutub yang berlawanan ini, keputusan yang diambil keduanya, yang berujung pada dilengserkannya Kirk dari kursi kapten SS Enterprise.

Aksi John Harrison yang membom pusat data Starfleet di London disusul penyerangan pusat komando Starfleet yang turut menewaskan Admiral Pike yang sangat dihormati Kirk berujung pada perburuan Harrison yang dikomandani Kirk yang lebih bermotif balas dendam. Masalahnya, John Harrison kabur ke wilayah Klingon, sehingga perintah Admiral Marcus agar si terdakwa ditembak dari jauh dengan torpedo membuat motivasinya patut dipertanyakan (meskipun gampang ditebak penonton, sebenarnya).

Untungnya, Kirk tidak hanya berbekal dendam, sehingga tidak langsung mematuhi perintah Admiral Marcus dan lebih memilih solusi yang diamini oleh Spock: menangkap Harrison hidup-hidup dan membawanya ke Bumi untuk diadili.

Anyway, dengan berbagai twist klise di sepanjang film dan adegan action yang kadang membuatku bertanya-tanya mengapa di masa depan tidak ada teknologi repulsor, yang paling menarik adalah proses transformasi Kirk menjadi lebih rasional dan selfless yang diiringi transformasi Spock menjadi lebih emosional. Puncak dari semua itu adalah adegan di mana Kirk mengorbankan nyawanya demi para kru SS Enterprise dan Spock yang tidak kuasa meredam emosinya memburu dan melampiaskan kemarahannya pada Khan. Asli, adegan-adegan emosional inilah yang membuatku menyukai film ini.

Pada akhirnya, meskipun adegan pengorbanan Kirk di sini bisa dianggap cerminan dari adegan pengorbanan Spock di The Wrath of Khan, J.J. Abrams rupanya memutuskan hal yang berbeda untuk endingnya. Tapi tak mengapa. Sungguh, kita tak membutuhkan film yang berjudul The Search for Kirk untuk installment berikutnya.

Kesimpulan :
Pantas untuk ditonton ulang kapan-kapan.






Saturday, May 4, 2013

Iron Man 3 (2013)

Lego Iron Man 3 Header

Yap, film Iron Man 3 terpilih dengan suara bulat (1 dari 1 suara) untuk menjadi posting pertamaku di blog khusus kumpulan review pengalamanku menonton film ini! Mari kita mulai tanpa banyak menunda lagi (ini juga sudah lebih dari setahun sejak aku membuat blog ini, loh! *bangga nggak jelas*).

Trailers :
Singkatnya : AKU... TERTIPU.
Coba deh, lihat trailer-trailer yang beredar di internet dan tv. Kesan pertamanya, film ini pasti very dark dan gloomy, menjanjikan premis cerita yang berat dan serius macam film-film Christopher Nolan. Siapa yang nggak miris sih melihat rumah Malibu Tony Stark hancur lebur, termasuk koleksi armor Iron Man vintage dari Mark I sampai VII di garasinya? Bagaimana nasib Tony tanpa armor? Apakah jatuh dari tebing akan membuat tulang punggung Tony patah? Eh, itu mah film superhero tetangga ya. Trailer juga membuat seorang pembaca komik Iron Man sibuk menebak-nebak komik mana yang dicomot sebagai inspirasi. Iron Man Extremis? Sudah pasti. Iron Man inside and out? Belum tentu! Belum lagi musuh yang ditampilkan saat ini archnemesis Iron Man yang sudah lama disimpan bak anggur vintage. Di film superhero lain, musuh utama tuh munculnya di film pertama gitu loh (mungkin dengan asumsi tidak ada sekuelnya?). Dan bagaimana dengan Pepper? Apakah tiba saatnya Pepper menggunakan armor seperti di arc World's Most Wanted?

Experience :
Hari Kamis, tanggal 25 April 2013 adalah hari yang teramat spesial, karena itu hari gajian film Iron Man 3 tayang pertama kalinya di Indonesia. Dan buat yang merasa jadi penggemarnya sejak film pertama (iyaaa, aku ngaku belum baca komiknya sebelum film pertama itu), wajib hukumnya nonton di hari pertama. Memang apa manfaatnya? Nggak ada sih, cuma untuk nyombong saja pada teman-teman yang memilih untuk menonton di akhir pekan. Kebanggaan sesaat yang langsung expired pada hari Seninnya.

So, hari itu aku langsung nekat pulang kantor jam lima sore (jam pulang sebenarnya jam setengah lima sih, tapi di kantorku pulang jam lima itu dianggap pulang cepat!), meskipun sebagian besar rekan kerja masih memilih tetap duduk manis di kubikel masing-masing. Aku langsung meluncur ke Blitz Grand Indonesia, dengan target dapat tiket untuk penayangan jam tujuh malam. Namun, ketika aku sudah mulai mengantri... tiket yang jam 7 sudah habis! Buset dah, bakal pulang lebih malam kalau dapat yang jam 8 atau 9! Tapi aku rela kok, film ini sudah kutunggu-tunggu dari tahun kemarin, apa bedanya sih menunggu satu dua jam lebih lama? Ternyata, ada orang yang punya tiket nganggur untuk jam tayang setengah enam karena temannya nggak jadi nonton! Yiha, alhamdulillah banget! Langsung deh keluar antrian dan nonton film, tanpa sempat makan, minum, dan pipis #ApaSihDibahas

Dan ternyata... aku diperdaya trailer! Memang sih ceritanya lebih berat dibandingkan sebelumnya, mirip-mirip film pertama di mana Tony harus bisa survive tanpa uang dan teknologinya. Tapi hei, aku memang berharap melihat lebih banyak Tony Stark di luar armornya! Karena superpower yang dimiliki Tony Stark bukanlah armornya, tapi otaknya! Dan armor terbarunya yang masih prototipe merupakan sumber sitkom yang tak ada habisnya! Jadi agak sedih juga sih melihat nasib Mark 42 dan kakak-kakaknya di akhir film. Tapi yang pasti, film ini lebih baik dari film sebelumnya yang nyaris terjerumus ke jurang Transformers.

Review:

Cerita dibuka dengan narasi Tony Stark, yang mengingat kembali awal mula bencana yang disemainya sendiri, yaitu pada pesta tahun baru Y2K di Bern, Swiss. Di sana Tony bertemu Ho Yinsen (yang tak diingatnya sama sekali) dan seorang ahli jantung bernama Wu (yang sepertinya muncul kembali di akhir film khusus untuk versi yang ditayangkan di Cina). Tapi fokus cerita pembukaan ini adalah si cantik Maya Hansen, botanis yang menemukan virus Ekstremis, serta si culun Aldrich Killian dari AIM yang mengajukan proposal kerja sama. Tentu saja Tony lebih memilih "membantu" yang cantik dan melupakan yang culun. Dan Tony tidak sadar bahwa bantuan kecilnya untuk rumus kimia Maya dan kesewenang-wenangannya terhadap Killian bakal menuai badai di kemudian hari.

Kembali ke masa kini, satu tahun setelah "peristiwa di New York", Tony Stark yang sadar bahwa ia cuma a man in a can kalau dibandingkan rekan-rekan superheronya, menjadi gelisah dan susah tidur karena sibuk memikirkan bagaimana cara yang lebih baik untuk melindungi orang-orang yang dikasihinya. Karenanya, sementara Pepper Potts tetap memimpin Stark Industries, ia menghabiskan waktu dengan membuat lebih banyak lagi armor. Kalau terakhir di film Avengers ia menggunakan armor Mark VII, di awal film ini ia sudah mencapai... Mark 42! (Omong-omong ada apa dengan Tony Stark dan angka 42? Kok jadi deja vu dengan Proyek 42-nya Tony di Civil War? Yang jelas tidak ada hubungannya dengan film tentang Jackie Robinson #ApaSih). Trailer membuatku mengira Mark 42 adalah armor versi Ekstremis. Tapi ternyata Mark 42 adalah versi terkini dari Mark VII, dengan lockchip ditanamkan ke lengan Tony untuk menggantikan fungsi gelang Mark VII. Bedanya, Mark 42 kalau dipanggil datangnya sepotong-sepotong (bisa jadi adegan keren, menggelikan, dan menakutkan tergantung situasi dan kondisi) dan bisa dikendalikan jarak jauh, seperti ini :


Saking sibuknya, ia baru tahu setelah iseng nonton tv kalau muncul teroris baru yang sangar dan canggih bernama Mandarin, yang mengancam pemerintah AS dengan mengaku bertanggung jawab atas pemboman di beberapa penjuru dunia. Sadar politik AS bukan urusannya, Tony tidak ikut campur. Ia baru terlibat ketika mantan bodyguard kesayangannya nyaris tewas dalam salah satu pemboman, dan di depan umum menantang Mandarin untuk bertarung, lengkap dengan memberikan alamat rumahnya. Just old-fashioned revenge. Dan... Mandarin menjawab tantangannya dengan menghancurleburkan rumahnya.

Terdampar ribuan kilometer dari rumah, hanya berbekal Mark 42 yang rusak dan tidak bisa diandalkan (maklum masih prototipe), Tony Stark harus menggunakan sumber daya terbatas (dan kejeniusan yang tidak terbatas) untuk dapat kembali dan mengatasi musuh-musuhnya. Padahal, lawan yang harus dihadapi Tony kali ini lebih susah matinya dibandingkan pasukan robot atau manusia yang mengenakan armor ala Iron Man. Sekelompok supersoldier yang bisa melelehkan logam dan memulihkan diri berkat virus Ekstremis yang dikembangkan Maya Hansen dan Aldrich Killian di AIM ini pasti mengingatkan kita pada T-1000 yang mengejar-ngejar Edward Furlong dan Arnold Scwarzenegger di film Terminator 2. Versi tercanggihnya malah bisa mengembuskan api seperti naga di cerita dongeng.

Dan di bagian inilah mungkin mereka yang mengharapkan banyaknya pertempuran Iron Man akan kecewa, karena Tony Stark lebih banyak beraksi tanpa armor, lebih mengandalkan teknologi seadanya ala McGyver. Kalaupun Mark 42 bisa digunakan sesekali, hasilnya kadang-kadang malah jadi kocak. Tapi jangan kuatir, kurangnya aksi Iron Man akan ditebus di adegan puncak dengan dijalankannya House Party Protocol oleh J.A.R.V.I.S., bala bantuan berupa Iron Legion yang selamat dari gempuran Mandarin. Mau lihat yang versi apa?

Kakak-kakaknya Mark 42 yang sempat terlihat antara lain :
- Mark 17 Heartbreaker
- Mark 33 Silver Centurion
- Mark 35 Red Snapper
- Mark 38 Igor aka Hulkbuster (jelas diperlukan untuk menenangkan Hulk ngamuk)
- Mark 39 Gemini Sub Orbital Suit (siapa tahu mau jalan-jalan ke luar angkasa lagi)

- Mark 40 Shotgun
Kurang apa coba? Ya jelas kurang lama sih. Saking banyaknya susah dipantau satu-satu, kecuali yang sempat dipakai dan disebut namanya oleh Tony Stark. Sayang sekali, kurang terlihat kelebihan masing-masing karena terlalu cepat terbangnya atau terlalu cepat dihancurkan musuh. Susah-susah bikin versi Gemini mbok ya main ke Asgard atau ke mana gitu. Atau si Igor bukan cuma dipakai untuk menopang dek supaya nggak miring, dipakai untuk latihan bela diri bareng Bruce Banner kek. Ini mah biar banyak armornya cuma jadi figuran saja.


Buat yang mengharapkan banyaknya adegan dan dialog kocak, selamat, ini film yang tepat untuk ditonton! Interaksi Tony dan Mark 42 jadi modal awal di sini, begitu pula pertemanan Tony dan anak kecil yang membantunya. Siapa juga yang bakal nyangka Tony Stark yang hebat itu mau pakai jam tangan Dora the Explorer, warna pink pula, meskipun itu limited edition? Atau adegan antara Tony dan Rhodey yang mungkin akan mengingatkan kita pada film-film buddy-cop macam serial Lethal Weapon. Dan siapa sangka, kalau musuh utama yang begitu sangarnya di tv bakal menyumbangkan tawa juga? Tentu saja ini berkat Shane Black yang menjadi sutradara merangkap penulis naskah, sehingga ciri khas film-filmnya diboyong semua ke sini.

Merasa kehilangan soundtrack musik rock ala film-film Iron Man sebelumnya? Well, yang namanya selera musik seseorang tidaklah terbatas. Masa seorang Tony Stark hanya tahu satu jenis musik? Sekali-sekali mendengarkan musik jazz atau dangdut kan nggak apa-apa. Eh, bukan berarti ada lagu dangdut di sini sih. Karena setttingnya menjelang Natal (padahal film ini diputar menjelang musim panas), soundtracknya rupanya disesuaikan dengan temanya.

Film ditutup dengan keputusan Tony untuk menjalankan Clean Slate Protocol, di mana Tony memilih untuk lebih fokus pada kekasih dan hidupnya. Hidup yang tanpa arc reactor di dadanya dan... tanpa armor lagi. But, even without armors, he's still Iron Man. Eh, ralat ding. Film ditutup dengan pengungkapan: kepada siapa Tony bercerita sampai berbusa-busa tentang petualangannya selama dua jam lebih? Ternyata... bukan pada kita para penonton, melainkan pada orang yang sudah ketiduran pada saat Tony menceritakan adegan di lift hotel di Swiss, yang berarti... dia nggak mendengarkan Tony sama sekali!

Tunggu, tunggu sebentar... tidak ada arc reactor lagi? Tidak ada armor lagi? Apakah... tidak ada film Iron Man lagi? Di penghujung film, terpampang tulisan besar-besar ala film-film James Bond: TONY STARK WILL RETURN. Tony Stark, ya, tapi apakah Iron Man juga akan kembali? Tony Stark, ya, tapi apakah Robert Downey Jr juga yang memerankannya? Ah, percuma saja bertanya-tanya sekarang. Iron Man 3 merupakan jalan pembuka menuju film The Avengers 2, dan pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab tahun 2015 nanti. Sabar dan tunggu saja tanggal mainnya, ya...

Kesimpulan : Wajib tonton ulang.
Dan sebenarnya, dua hari kemudian aku memang sudah menonton lagi di bioskop lain, kali ini bareng teman, dan memilih yang 3D. Kesimpulannya, tidak usah nonton versi 3D karena hampir tidak ada bedanya, cuma bikin sakit kepala saja dan repot karena jadi pakai kacamata dobel. Tapi karena lebih santai, aku jadi masih sempat membeli tempat minum Iron Man.
Lumayanlah, kenang-kenangan